SELAMAT DATANG, ... SEMOGA INFORMASI YANG ADA DI BLOG INI BERMANFAAT BAGI ANDA

Senin, 21 September 2015

MACAM-MACAM DOSA MANUSIA YANG TAK PRNAH DISADARINYA

10 MACAM DOSA LAKI-LAKI YANG TAK PERNAH DISADARINYA

1. Tidak memelihara rambutnya.
2. Menyakiti hati da menyiksa istrinya dengan kemarahannya.
3. Membantu wanita lain tanpa izin istrinya.
4. Keluar rumah tanpa izin istrinya.
5. Malas berdoa dan puasa meski mau melaksanakannya.
6. Suka cuek.masa bodoh terhadap orang lain.
7. Menyiksa diri dg bekerja demi kebutuhan diluar batas kemampuannya.
8. Mempertontonkan kekayaan dan kecantikan istrinya di depan orang banyak sehingga orang lain kagum padanya.
9. Memanjakan istri dan anak-anaknya.
10. Kurang sabar dalam segala hal.


13 MACAM DOSA WANITA YANG TAK PERNAH DISADARINYA

1. Tidak memelihara rambutnya.
2. Menyakiti hati suaminya dengan lidahnya / kata-katanya.
3. Menyusui anak orang lain tanpa izin suaminya.
4. Keluar rumah tanpa izin suaminya.
5. Mampu untuk mengerjakan doa dan puasa tapi tidak mau melaksanakannya.
6. Berhias diri/bersolek untuk dilihat laki-laki lain.
7. Suka membicarakan aib orang lain.
8. Suka memanjakan diri (ingin terkenal).
9. Mempertontonkan perhiasannya di depan orang banyak sehingga tertarik padanya.
10. Suka berdusta/berbohong.
11. Suka mengadu domba orang lain.
12. Memfitnah dan suka marah-marah pada suaminya.
13. Mempersilahkan laki-laki lain untuk berzina dengannya.

Senin, 07 September 2015

Aksara Tak Bisu


Bukit itu terlalu sunyi untuk di katakan wajar.
Setelah dipersilahkan masuk ke rumah orang tua itu, aku duduk pada kursi di ruang tamu. Ia meraih sebungkus tembakau kasar. Disodorkannya tembakau itu di meja, beserta kertas dolar untuk melinting tembakau.
Maafkan saya atas peristiwa tadi, tulis orang tua itu pada secarik kertas. Di bukit ini, kami cukup hati-hati dengan pendatang baru. Apa lagi sedang beredar isu, keberadaan kami di bukit ini tengah dimata-matai oleh penguasa kerajaan ini.

Diberikannya catatan kecil itu kepadaku untuk kubaca. Spontan, setelah membaca catatan kecil pada carikan kertas tersebut, timbul keinginan dalam benakku, untuk juga menuliskan sesuatu kepada orang tua itu, sekadar untuk mencairkan suasana. Tanpa bertanya terlebih dahulu, aku bermaksud mengambil secarik kertas dari tumpukan kertas yang ada di meja. Namun sebelum aku sempat menyentuh tumpukan kertas itu, orang tua itu malah mencegah diriku. Seperti tahu apa yang kupikirkan, orang tua itu meraih secarik kertas dan menulis:
Bicaralah! Bukankah adik dapat berbicara? Jangan sungkan untuk berbicara. Walaupun saya bisu, saya masih bisa mendengarkan dan mengerti dengan baik bahasa lisan. Angaplah saja adik sedang bercakap-cakap dengan sahabat Adik.
Aku jadi serba salah.
“Em…,” kucoba menyembunyikan rasa maluku. “Em… maaf, Pak. Saya hanya ingin menunjukkan rasa hormat serta niat baik saya kepada Anda. Saya pikir… dengan menulis seperti yang Bapak lakukan, perbincangan kita akan semakin cair. Tetapi jika…” tak kuselesaikan kalimatku, saat kulihat ia telah mengangguk-angguk sambil tersenyum maklum.
“Em… tentang kejadian tadi, sebenarnya telah saya lupakan. Lagi pula, saya sama sekali tidak menyalahkan Bapak atas peristiwa tadi. Menurut saya wajar jika Bapak merasa perlu waspada dengan kedatangan orang baru seperti saya. Apa lagi jika memang sedang beredar isu kalau ada mata-mata raja yang hendak memata-matai kehidupan di bukit ini.”
Orang tua itu masih memperhatikan aku dengan saksama. Aku jadi sedikit kikuk.
“Juga… terima kasih Pak, ‘tuk suguhannya,” tanganku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Tapi, maaf Pak. Saya tak biasa, atau mungkin lebih tepat tak bisa isap lintingan. Terlalu keras. Kretek saja Pak…” aku tersenyum, mengulum rasa malu bercampur segan. Kukeluarkan sebungkus rokok kretek dari saku celanaku. Kembali ia tersenyum padaku.

Sebelum ia mulai menulis lagi pada kertas yang sama, ia menyodorkan sekotak korek api kepadaku untuk membakar rokok.
Sudah puluhan tahun aku tidak menggunakan pita suaraku. Selama itu pula, semua perasaan, pendapat dan pikiranku kuungkapkan lewat tulisan pada carikan-carikan kertas. Tetapi sekali lagi, Adik tak perlu sungkan untuk berbicara. Saya termasuk generasi yang dapat mendengarkan dan mengerti bahasa lisan dengan baik, tulisnya.

Aku belum selesai membaca catatan tersebut ketika seorang gadis cantik datang membawa dua cangkir kopi hangat dan sepiring pisang goreng. Piring kaca alas cangkir berdenting nyaring saat bersentuhan dengan meja marmer yang telah sedikit retak di ujungnya. Cuping hidungku mengembang, menghirup uap kopi hangat yang membubung naik bercampur aroma pisang goreng. Ku isap rokokku dalam-dalam. Sempurna.
Gadis itu mengambil secarik kertas dan menulis:
Maaf. Mungkin tak seenak ‘white coffee’ juga kopi luwak, tapi ini dari biji kopi pilihan; yang terbaik yang kami miliki; asli buah tanah bukit ini. Silahkan dinikmati.
Ia tersenyum padaku seraya mempersilahkan diriku menyantap hidangan yang telah tersedia. Sederhana, tetapi anggun. Itu kesan pertamaku. Pandanganku lekat pada gadis manis itu sebelum akhirnya ia tersenyum lagi, lalu berlalu ke belakang dan terpeleh tirai.

Sebuah catatan kecil pada carikan kertas yang lain disodorkan lagi kepadaku. Orang tua itu menulis:
Ia adalah putri tunggalku. Namanya Ree. Ibunya meninggal dua tahun lalu. Sejak saat itu ia yang mengurus pekerjaan rumah tangga.
Aku mengangguk-angguk, namun dengan dahi yang berkerut. Aku mengerti sesuatu sekaligus tidak mengerti hal yang lain. Kutatap wajah orang tua itu dengan sebuah pertanyaan yang seperti tersangkut di tenggorokan. Ia mengambil pena dan menulis, namun bukan lagi pada carikan kertas. Pada selembar kertas yang cukup panjang, ia menulis:
Saya mengerti apa yang hendak Adik tanyakan. Begini:
Hegemoni tak pernah pasti selama harapan dan perjuangan ada dalam hati, ia memulai catatannya.
Tidak semua orang gampang menentukan bagian tubuh mereka yang paling penting dan yang paling mereka banggakan. Memilih yang satu dan mengeliminasi yang lain sering menimbulkan dilema. Namun, tidak demikian dengan penduduk bukit ini. Jika penduduk bukit ini disuruh memilih satu anggota tubuh yang paling penting dan paling membanggakan, boleh jadi tanpa berpikir dua kali, kami akan menjawab, “Pita suara!”; andai kata kami dapat berteriak kini.
Sebab, tidak ada anugerah para dewa yang lebih indah dari pada Pita Suara.
Ia memberi kesempatan kepadaku untuk membaca awal catatannya. Kalimat terakhir awal catatannya itu ia tulis dengan tinta biru.

Sayangnya, ia melanjutkan catatannya, generasi kami adalah generasi terakhir yang dapat menikmati anugerah terindah itu.
Dulu kami semua punya pita suara. Suku kami sungguh yakin kalau pita suara adalah anugerah khusus para dewa. Maka, sejak kacil kami sudah sungguh di didik untuk tahu menggunakan anugerah dewa yang terindah itu. Kami di didik dengan keras untuk menjadi penyanyi, penyair, orator, serta retor; menjadi pengguna anugerah dewa. Bahkan hasilnya, tak sedikit dari antara kami yang menjadi penyanyi, penyair, serta retor-retor, dan orator-orator yang ulung dan tersohor di penjuru kerajaan.

Kala malam purnama datang, di sekeliling api unggun, kami berkumpul untuk bernyanyi, melantunkan syair-syair kuno, juga mendengarkan kepala suku kami bercerita tentang nenek moyang kami. Kami juga berdiskusi bahkan berdebat tentang hari-hari hidup kami dan kerajaan ini. Semuanya begitu indah.

Hingga suatu senja….

* * *

….dituduh salah menggunakan anugerah para dewa, menjadi suku pemberontak dan penghasut di kerajaan demokrasi ini, kami dijatuhi hukuman yang sungguh tak adil. Tak ada seorang pun yang di hukum gantung. Tetapi, pita suara semua kami, penghuni bukit ini, mesti di potong.

Keputusan itu telah menjadi bencana terbesar yang pernah kami alami sepanjang sejarah bukit ini. Sejak petang itu, lenyaplah nyanyian; tak ada lagi dongeng; tak ada diskusi; tak ada puisi; dan tak ada pidato. Tangisan kami tak membekaskan suara sedikit pun. Bahkan bisikan pun tak menyisakan sedikit bunyi untuk setitik makna.
Terlalu perih untuk dikenang….

….sadar waktu tak punya pilihan untuk berhenti. Generasi yang baru pun muncul mengganti generasi yang pergi. Anak-anak kami, termasuk putriku Ree, lahir dengan pita suara yang baik.

Bagi kami, itu adalah tanda bahwa para dewa tak pernah melupakan kami. Namun sayang, tak seorang pun dari generasi kami mampu mengajarkan mereka berbicara, bernyanyi, berkisah, melantunkan syair, bahkan untuk sekedar berbisik. Bayangkanlah, tak satu pun dari kami. Betapa menyedihkan….

Demikian penggalan kisah yang dicatat sendiri oleh orang tua itu tentang sunyi bukit itu.

* * *

Maka suatu senja, pada secarik kertas lusuh, kami sepakat untuk satu hal yang tak akan lusuh. Kami sepakat untuk membangun dunia kami sendiri; dunia kami di bukit ini. Orang tua itu terdiam sejenak sebelum kembali menulis lagi: Sebuah dunia tulisan; dunia aksara, walau tanpa suara.
“Maafkan aku Pak,” rasanya dadaku terlalu sesak untuk mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Aku tertegun usai membaca kisah yang ditulis orang tua itu.

Di luar, sinar dan panas mentari tak seberapa lagi. Burung-burung malam mulai menampakkan diri. Mengingat hari telah semakin gelap, segera kusampaikan maksudku kepada orang tua itu untuk pulang. Orang tua itu tampaknya maklum dengan kecemasanku. Hutan di bukit ini tak selalu aman di malam hari.

Ia menepuk tangan tiga kali. Mungkin itu adalah isyarat untuk memanggil Ree, putrinya, sebab tak lama berselang Ree datang. Seperti sudah mengerti apa yang harus dikerjakan, Ree segara mengumpulkan cangkir berisi ampas kopi, serta beberapa buah pisang goreng yang tersisa. Ia tersenyum padaku sebelum pergi ke belakang.

Penguasa negeri ini, tulis orang tua itu sebelum aku pergi, kini memata-matai keberadaan kami di bukit ini. Tentu mereka ingin memastikan generasi penerus kami tak dapat bernyanyi, berbicara, berteriak, berpidato, bahkan berbisik satu dengan yang lain. Jika mereka tahu generasi penerus kami tak dapat menggunakan pita suara, bahkan untuk berbisik sekalipun, tentu mereka akan merasa berhasil membungkam suara kami bahkan suara anak cucu kami; generasi penerus kami. Tetapi sampai kapan pun, mereka tak pernah mengerti kalau sesungguhnya di bukit ini, hanya anjing yang tak bicara.
Dengan tulisan yang dipertebal ia mengakhiri catatan itu: Sebab, AKSARA TAK BISU!

Kulipat catatan itu. Kusimpan catatan akhir itu dalam saku bajuku bersama semua catatan yang telah ia berikan kepadaku sepanjang hari itu. Aku berlangkah menembus senja yang menjelang malam. Sebelum sampai di hutan, batas bukit itu, kusempatkan diri menoleh ke belakang untuk yang terakhir kali. Samar-samar, rumah orang tua itu terlihat di celah pepohonan. Aku tertunduk penuh penyesalan. Aku ingin jujur kepada orang tua itu, kalau sesungguhnya aku adalah mata-mata raja...... end

Yang Tersayang di Balik Pelangi

Ada Teman di Balik Pelangi

“Buku cerita itu hanya bohong kok..” kata sang kakak.
Adiknya terus murung. Ada pelangi sore itu, teringat di buku cerita itu bahwa ada teman di balik pelangi.
“Aku ingin pergi ke sana..” kata sang adik.
“Baca akhir cerita itu, bukannya sebenarnya tak ada teman di balik pelangi!” kakaknya mulai sebal. Dari seminggu yang lalu adiknya selalu berkata, jika ada pelangi aku ingin pergi kesana. Mungkin disana ada teman.
Kakak beradik itu tinggal bersama Ibunya dan pembantu-pembantunya. Rumahnya besar. Rumah yang terlalu besar untuk mereka bertiga. Sang ibu adalah pejabat sebuah Bank ternama.
Kakaknya sudah SMA. Dia sangat tampan dan pintar. Rapi dan sangat bersih. Di sekolah dia sangat disegani. Selain nilainya bagus, dia juga terpilih sebagai ketua OSIS. Kekurangannya mungkin karena dia kadang terlalu congkak. Beberapa kali dia berdebat dengan teman-temannya karena kecongkakannya itu. Bahkan banyak juga yang berusaha menggulingkan dia dari ketua OSIS. Hidupnya tak nyaman di sekolah. Teman-teman didekatnya tak bisa dipercayai sepenuhnya. Pulang ke rumah, malah bertemu sang adik yang menurutnya sedikit aneh. Pendiam, murung, dan berkhayal kesana kemari.
Adiknya, kelas 3 SD, home schooling. Dia tidak pergi ke sekolah formal karena kondisinya. Kakinya tak mampu berjalan sejak lahir. Saat sang ibu mengandung, sang ayah meninggalkan mereka. Ehm bukan meninggalkan, tapi di usir. Sang ibu melihat ayahnya bersama wanita lain. Karena punya harga diri dan harta, tak segan-seganlah sang ibu mengusir ayahnya yang aslinya tak punya apa-apa itu.
Adiknya menjalankan kursi roda elektroniknya ke arah kamarnya. Sang kakak sibuk bermain-main dengan hamster kesayangannya. Mame, namanya. Hamster imut, lucu, yang diberikan seorang temannya waktu SMP. Teman karibnya itu sekarang sudah tinggal jauh di Australia. Mereka sudah jarang lagi berkomunikasi. Paling lewat jejaring sosial.
Malam datang. Sang ibu belum juga menampakkan diri di rumah.
“Aden makan malamnya sudah siap,” seorang pembantu berumur membungkkan badannya di hadapan seorang anak yang sibuk mengetik di laptopnya.
Anak itu menoleh sejenak, lalu melanjutkan mengetik.
“Non Rima sudah menunggu di ruang makan,” lanjut sang pembantu.
Akhirnya Rindra, anak laki-laki itu mengalah. Mematikan laptopnya dan pergi ke ruang makan.
Rindra memulai mengambil sesendok nasi di campur dengan sayur sop. Rasanya enak seperti biasa, pembantunya itu memang pandai memasak.
“Jangan sisakan makananmu lagi…” kata Rindra.
Sang adik menatap makanannya dengan malas. Aku harus menghabiskannya, tiba-tiba kata-kata kakaknya menjadi motivasi untuk menghabiskan makanan di depannya.
Sebelum mereka selesai makan, seseorang datang. Dengan badan lelah dan setumpuk beban di kepalanya.
“Assalamualaikum..” sang ibu tersenyum sambil mengucap salam.
Rindra dan Rima membalas salam ibunya dengan semangat. Mereka tahu ibunya itu bekerja keras untuk mereka.
“Ibu gak makan sama kami?” tanya Rima seperti memohon.
“Iya..iya.. ibu ganti baju dulu..” kata sang ibu.
Rindra meneruskan makannya. Rima berhenti menunggu sang ibu.
“Aku duluan, bilang ke ibu aku mau mengerjakan PR,” Rindra beranjak dari ruang makan.
Siang itu cerah. Ada bulatan kuning yang memancarkan sinar. Rima sudah menyelesaikan kegiatan home schoolingnya. Di atas pahanya ada perlengkapan menggambar. Pensil, kertas gambar A4, karet penghapus, dan sebuah alas dari kayu. Sang pembantu membantunya untuk naik ke lantai dua, ia ingin menggambar pemandangan dari atas.
Kegiatan menggambar memang sangat disukainya. Menggambar pemandangan salah satu yang sering ia lakukan. Pemandangan taman, pemandangan gunung, pemandangan hutan, pemandangan jalan, dan sebagainya. Kali ini dia ingin mengambar pemandangan kota dan pelangi. Ya, dia masih teringat pada buku cerita itu. Buku cerita yang menyebutkan ada teman di balik pelangi.
Digambarnya menggunakan pensil. Hati-hati sekali, Rima tipe yang tidak sering menghapus goresannya. Gambarnya lumayan bagus untuk anak seumurannya.
Sejam, dua jam… lama sekali Rima menggambar pemandangan kota dan pelangi itu. Digambarnya sedetil-detilnya. Rumah-rumah penduduk, gedung-gedung pemerintah, dan kabel-kabel listrik tak luput dari pengamatannya. Siang itu tak ada pelangi. Namun, Rima tetap akan menggambarnya. Ia ingat betul kemarin sore, saat hujan mulai reda ada pelangi besar disana. Ya di sana, menggantung indah di angkasa.
“Ehem.. anak ibu sedang menggambar apa?” tiba-tiba sang ibu sudah ada di belakang Rima.
“Ah.. ibu tumben sudah pulang..” tanya Rima.
“Ya, ibu mau mengajakmu ke suatu tempat…”
“Kemana bu?” tanya Rima antusias.
“Ke sekolah.. ibu mau mendaftarkanmu ke sekolah,” kata sang Ibu.
Hari itu rasanya pelangi sudah dekat sekali. Rima tersenyum lagi, tersenyum membayangkan esok hari akan bertemu banyak teman.
Sekolah yang ia kunjungi tadi tidak begitu besar. Tapi sungguh modern. Rima melihat anak-anak seumurannya belajar di dalam kelas. Ternyata mereka pulang agak sore. Ibunya sudah menjelaskan pada Rima kalau jam belajar di sekolah tidak sama seperti home schooling.
“Besok lusa aku akan bertemu banyak teman kak,” kata Rima pada kakaknya.
“Iya…” Rindra sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Nanti malam ia harus mengurus acara Mapensi di sekolahnya. Rindra ikut senang akhirnya ibunya berinisiatif mengusahakan agar sekolah itu bisa menerima Rima, walaupun harus membayar lebih pada sang kepala sekolah. Setidaknya adiknya tidak akan kesepian lagi di rumah.
“Belajarlah yang rajin, jangan mau kalah dengan teman-temanmu nanti..” kata Rindra menasehati.
“Iya kak… aku akan belajar yang rajin,” kata Rima. Rima lalu kembali ke kamarnya. Dia memeriksa baju seragam yang baru saja ia peroleh. Betapa bagusnya seragam itu. Berwarna biru muda dengan rok biru tua bermotif kotak-kotak.
Hari itu tiba, hari saat Rima memakai seragam biru muda itu. Melukis senyuman di wajah dan menggambarkan pelangi besar di atas kepalanya.
Kelasnya lumayan luas, sebagian besar tembok tak terlihat tertutup berbagai benda yang di pajang. Ada papan absen, karton-karton berisi lukisan-lukisan siswa, gambar organ tubuh, gambar-gambar dengan keterangan bahasa inggris dan tak lupa ada gambar presiden dan wakilnya terpajang di atas papan tulis.
Rima, dengan kursi rodanya memasuki kelas. Masih sepi.
Ada sekitar dua puluh pasang kursi-meja. Hmm.. berarti aku akan memiliki sekitar 20 orang teman. Banyak!, kata Rima dalam hati.
“Tap..tap,” suara sepatu berjalan terdengar. Rima, menoleh. Ada seorang anak seumuran dia, perempuan.
Dia tersenyum, melangkah menghampiri Rima.
“Kamu anak baru itu ya?” tanya anak itu.
“Iya.. kenalkan aku Rima…” Rima tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
“Aku Sarah,” kata anak itu. Rima senang sekali. Sarah adalah teman pertamanya di sekolah ini.
Rima sangat gembira bisa bersekolah dan memiliki banyak teman. Sarah, ya dia salah satu teman terdekatnya. Di kelas mereka selalu duduk berdekatan, saat istirahat mereka juga bersama-sama. Pergi ke perpus juga, tak segan-segan Sarah membantu Rima untuk mengambilkan buku yang letaknya di atas.
Hari itu Rima mengajak Sarah pergi ke rumahnya. Sarah terlihat sangat senang sekali. Rumah Rima memang lebih luas dan lebih bagus dari milik Sarah.
“Wah… bagus sekali…” kata Sarah. Diperhatikannya barang-barang mewah di rumah Rima. Rima menyediakan makanan yang enak setiap kali Sarah ke rumahnya. Sarah jadi betah dan sering belajar di rumah Rima.
Suatu hari.
“Bibi…mana buku ceritaku,” Rima mendorong kursi rodanya ke dapur. Di sana ada seorang pembantu yang sedang memasak.
“Buku yang mana..?” tanya sang pembantu sambil menghentikan kegiatan memasaknya.
“Buku cerita Toby! Buku kesayanganku…” kata Rima.
Malam itu Rima ribut sendiri, mencari buku kesayangannya ke sana kemari.
“Apa tak di pinjam temanmu itu?” tanya Rindra, sang kakak.
“Siapa? Sarah.. dia tidak bilang apa-apa kok.. mana mungkin dia mengambilnya tanpa seijinku,” kata Rima.
Rima tak bisa tidur, ia terus memikirkan buku ceritanya yang hilang itu. Apa Sarah yang mengambilnya? Tapi mana mungkin dia sejahat itu.
Keesokan harinya.
Sarah terlihat membawa sebuah buku. Buku yang tak asing buat Rima.
“Pagi Rima, eh ini bukumu mau ku kembalikan,” Sarah menyodorkan buku cerita kesayangan Rima.
“Oh.. jadi kamu yang mengambilnya, kok kamu gak bilang-bilang sih…!!” Rima berteriak marah. Sarah kaget, dia tidak tahu Rima akan marah seperti itu. Seharian itu mereka tidak berbicara. Sarah sudah mencoba meminta maaf tapi Rima tak mau mendengarkan.
Rima termenung. Melihat langit dari lantai dua rumahnya. Buku Toby ada di pangkuannya. Tak ada pelangi di langit, yang ada hujan gerimis rintik-rintik.
“Teman itu memang begitu… jangan terlalu berharap mereka sesuai dengan yang kita inginkan, mereka punya mimpi yang tak selalu sama dengan kita…” kakaknya berkata, beriring dengan gerimis yang berubah menjadi hujan.
“Tapi apakah kalian sudah tidak butuh teman lagi… pelangi tak selalu datang setelah hujan, jaga teman-teman yang kalian punya,” Ibunya datang meredam suara hujan.

Abdiku Untukmu, Ibu



Aku terbangun di pagi itu dengan penuh kedamaian. Ku dengar kicau burung dan mentari menambah hangat sambutan pagi. Aku Silvia, umurku 17 tahun sekarang. Ibuku seorang single parent. Ya, ayahku sudah di panggil yang maha kuasa ketika umurku masih 4 tahun. Segera aku bangun dan menuju ke kamar mandi, setelah itu memakai baju seragam, dan keluar dari kamarku. Aku menengok ibu yang sedang menyiapkan dagangannya.
“Nak, sarapan dulu. Tuh makanannya udah Ibu siapin di atas meja,” kata Ibu.
“Iya, makasih ya bu,” jawabku sambil tersenyum.
Seselesainya aku sarapan, ku pakai sepatuku, kemudian pamit pada ibu.
“Bu, Silvi pergi dulu ya. Assalamu’alaikum,” aku pamit pada Ibu sambil mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan ya nak,” kata Ibu. Kalimat itu selalu Ibu ucapkan sebelum aku pergi sekolah.
Hari itu aku tidak merasakan hal yang aneh. Semua sama seperti biasanya. Namun hal yang mengejutkan terjadi ketika aku pulang sekolah. Ibuku tidak ada di rumah, tetanggaku bilang beliau di bawa ke rumah sakit. Aku tertegun menganga tidak percaya. Beribu pertanyaan muncul di pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung meluncur ke rumah sakit tempat Ibu dilarikan. Setelah lama menunggu hasil pemeriksaan, ternyata dokter memvonis Ibuku terkena penyakit kanker otak stadium tiga.
“Ya Allah, kenapa jadi seperti ini? Sejak kapan Ibu mengidap penyakit ini?” gumamku. Tak terasa air mata mengalir di pipi, jantungku seakan berhenti berdetak.
Mulai dari hari itu aku memutuskan untuk mandiri, menyiapkan segala sesuatu dengan tanganku sendiri. Aku juga menggantikan Ibu berjualan. Suatu hari aku menanyakan satu hal kepada Ibu.
“Bu, ada yang mau Silvi tanya nih,” kataku memulai pembicaraan.
“Mau nanya apa, nak?” kata Ibu.
“Silvi kan udah kelas tiga, sebentar lagi Silvi lulus dari SMA dan insya’Allah ngelanjutin ke perguruan tinggi. Kira-kira nanti Ibu mau Silvi ngelanjutin kemana?” tanyaku.
“Kalo bisa, nanti Ibu mau kamu lanjut ke Universitas Indonesia,” jawab Ibu.
“Ya udah, Silvi bakal usahain semaksimal mungkin untuk mengabulkan permintaan Ibu. Silvi akan usaha keras mulai dari sekarang,” ujarku dengan senyum dan nada optimis.
Mulai dari hari itu, dengan giat aku belajar dan berusaha untuk mewujudkan permintaan Ibu, serta tidak lupa aku selalu berdo’a. Di samping itu aku juga dengan sabar menggantikan Ibu berjualan setelah pulang sekolah.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa aku sudah sampai di “Penghujung Putih Abu-abu”, hari ini aku akan menerima pengumuman kelulusan. Alhamdulillah aku lulus dengan hasil yang memuaskan.
“Ibu, Silvi lulus, hasilnya juga memuaskan. Nilai Silvi yang paling besar di sekolah,” aku berteriak sambil berlari dari depan pintu.
“Alhamdulillah ya, Silvi. Ibu seneng dengernya,” Ibu merespon.
Raut kegembiraan terpancar dengan sangat jelas di wajahnya, seakan-akan beliau lupa akan penyakit yang diidapnya.
Sekarang targetku tinggal 1 lagi, masuk ke Universitas Indonesia. Semua berkas dan formulir pendaftaran ke Universitas Indonesia sudah di urus dan di kirim. Aku tinggal menunggu hasil. Aku menunggu dengan harap-harap cemas.
Akhirnya hari itu datang juga. Dari pagi aku sudah bersiap untuk melihat hasil kelulusan di universitas tersebut. Selama di perjalanan ritme detak jantungku tidak karuan, rasanya jantungku hampir lepas. Aku mendekati papan pengumuman dengan perasaan tak karuan. Ku urut jariku di daftar nama peserta yang diterima, betapa terkejutnya aku ketika melihat namaku di urutan ketiga, Silvia Pratiwi.
Tak sabar aku ingin kembali ke rumah untuk memberitahukan berita ini kepada Ibu. Aura senang dari beliau sudah bisa kubayangkan.
“Ibu, Ibu, Silvi berhasil! Silvi masuk ke Universitas yang Ibu mau, Universitas Indonesia. Silvi juga ada di urutan ketiga,” seruku dengan senyum sumringah.
“Alhamdulillah, nak. Akhirnya permintaan Ibu yang terakhir bisa kamu penuhi. Semoga kelak kamu juga bisa jadi yang terbaik disana,” ujar Ibu dengan nada pelan.
Binar di mata Ibu langsung nampak, beliau kelihatan bangga. Tetapi, entah mengapa aku merasakan sebuah getaran yang berbeda ketika ku tatap sorot matanya, dan ketika ku dengar kalimat itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
“Oh iya, Silvi pergi jualan dulu ya bu,” kataku.
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya,” jawab Ibu. Pesan terakhir itu memang tak pernah lupa beliau sampaikan.
Dengan santainya aku berjalan mengelilingi komplek, menjajakan barang daganganku. Setelah daganganku habis, langsung saja aku pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba aku menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Bagaimana tidak, saat itu rumahku ramai dan ku lihat sebuah bendera kuning dikibarkan di depan rumahku. Tanpa banyak berpikir, aku berlari ke dalam rumah. Betapa hancur hatiku ketika melihat orang yang paling ku sayang sudah terbujur kaku. Seketika tangisku pecah saat itu juga, ku peluk dan ku cium kening Ibu untuk yang terakhir kalinya. Jujur, kesedihan yang tak terbendung melandaku saat itu. Tapi di sisi lain, aku juga merasa cukup puas, karena di detik-detik terakhirnya aku bisa membuat beliau tersenyum dan bangga akanku. Inilah bentuk abdiku untukmu, 
IBU.. :’)

Bukan Bernalar, Tapi Berakal


Konsep dan pengertian tentang sesuatu adalah hasil penalaran berpikir berbasiskan pengamatan inderawi (observasi empirik). Pola pemahaman berdasarkan pengamatan kejadian sejenis membentuk proposisi–proposisi; dan berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, lantas orang menyimpulkan sebuah “teorema baru” yang sebelumnya tidak diketahui. Siklus ini disebut proses menalar.
Me(makai)-nalar identik dengan memanfaatkan jejak probabilitas kejadian masa lalu, sebaliknya mencari akal adalah mengundang posibilitas masa depan. Kesuksesan selalu hal baru, tak pernah berulang; dan merupakan produk akal. Sedang pengulangan sukses tetaplah pengulangan, mudah disampaikan sebagai cerita tentang “peng-alam-an”; dan merupakan produk nalar. Dua cerita berikut menunjukkan beda antara bernalar dan berakal.
Nalar dan Akal Suatu hari, Bernasdus, seorang anak berumur empat tahun, bermain vas bunga porselin yang sangat disakralkan oleh kedua orangtuanya, mengingat benda itu warisan kakek buyut Bernasdus. Kejadian dimulai ketika Bernasdus telanjur memasukkan tangan kanannya ke dalam vas dan tidak dapat menarik kembali keluar dari lubang vas. Ayahnya berusaha keras menolongnya, namun sia-sia karena tangan Bernasdus tetap terpasung di lubang vas. Muncullah konflik dalam diri sang ayah, yakni antara keinginan mempertahankan keutuhan vas yang sangat bernilai itu dan menyelamatkan tangan Bernasdus. Terpikir gagasan untuk memecah vas dengan risiko tangan Bernasdus terluka. “Coba, Nak. Masih ada cara. Buka genggaman tanganmu dan luruskan jari-jarimu seperti ayah contohkan; kemudian tarik…”
Di luar dugaan Bernasdus menjawab, “Tidak, Yah, aku tak mau melakukannya. Aku tak akan melepas genggaman tanganku seperti ayah contohkan, karena uang recehku akan tertinggal di sana.”
Mana nalar dan mana akal? Mungkin sebagian besar pembaca berpikir bahwa sang ayah lebih mempercayai dan memakai nalar masa lalunya, sebaliknya Bernasdus sedang menggunakan akal masa depannya. Cerita berikut mungkin membuat Anda berubah pikiran.
Suatu hari, seratus tahun silam, di sebuah kawasan persawahan Delanggu Jawa Tengah hidup suatu keluarga petani yang memiliki harta kekayaan berupa dua ekor sapi. Yang satu sudah berumur dan sering mengalami “dhèngkèlën”,*) yang lain masih muda, kuat, dan memiliki ketahanan fisik untuk membajak sawah. Sapi yang pertama sudah tak mungkin lagi dipasang-jalankan bersama sapi kedua, apalagi untuk membajak.
Ketika pasangan suami-istri petani sedang menghadiri perhelatan pernikahan salah satu tetangga, di luar kebiasaan sapi tua itu mampu berdiri tegak dan berjalan menuju rumpun rerumputan kalanjana yang tumbuh subur di dekat sumur belakang rumah. Karena jalannya yang gontai, di tengah keasyikan melahap makanannya, sapi tua itu terperosok dan secara pelan namun pasti masuk ke lubang sumur. Dengan segala upaya, sapi itu berusaha bertahan agar tak merangsak ke kedalaman sumur.
Tiba dari perhelatan, pasangan petani mendengar gaduh lenguhan sapi yang datang dari arah lubang sumur. Setelah memahami apa yang sedang terjadi, petani lelaki itu memutar akal. Timbul perasaan campur-baur antara rasa simpatinya pada sapinya yang naas itu tapi juga rasa jengkelnya bahwa ia harus menguras isi sumur yang tak seharusnya menjadi kubangan sapi, dan rasa sesal karena kelancangan sapinya yang hampir menghabiskan persediaan rumput untuk berjaga menghadapi tibanya musim kemarau.
Berpikir kecepatan kilat, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk tak mempedulikan sama sekali baik sapi tua, rumput kalanjana, maupun sumurnya. Ia justru memanggil para tetangganya, menceritakan apa yang tengah terjadi dan meminta mereka beramai-ramai menguruk lubang sumur itu dengan tanah merah untuk mengubur sapi tuanya agar tak berlama-lama dalam penderitaan.
Begitu menerima hujan bongkahan tanah merah yang bertubi menghantam punggung dan kepalanya, sapi itu melenguh panik dan ketakutan. Namun sang petani dan para tetangganya seolah tak mengacuhkannya dan tetap mengayuhkan cangkul, mencungkil, dan melontarkan bongkahan tanah merah yang terkuak ke dalam lubang sumur. Tanpa disadari sang petani dan para tetangga yang kian getol menguruk lubang sumur, sapi tua itu secara refleks mengibaskan gumpalan tanah merah yang menghantam punggungnya. Gilirannya gumpalan demi gumpalan tanah merah itu bergeser dan jatuh ke samping dan bawah kakinya. Secara refleks pula, dan secara berganti-ganti, keempat kakinya menginjak gundukan tanah yang tumpah berjatuhan dari atas punggungnya.
Bak seorang manusia yang mengalami pencerahan, si sapi melakukan rentetan gerak, mulai dari mengibaskan gumpalan tanah merah yang menghantam punggungnya, menginjakkan keempat kakinya secara bergantian di atas gundukan tanah yang kian bertumpuk; sedemikian rupa sehingga ia seolah sedang menaiki tangga dan secara pelan namun pasti keluar dari keterpurukan dan penderitaan selama berada di dalam sumur. Reaksi refleks kepanikannya telah berubah menjadi solusi yang jenial. Gedebum gumpalan tanah merah yang awalnya bisa jadi sumber malapetaka malahan berubah menjadi berkah keselamatan.
Akal dan Adversitas Mungkin begitulah kehidupan. Di saat kita berjumpa masalah dan kita bersikap menghadapi, tak menolak atau menyalahkan keadaan, semua potensi malapetaka yang dibayangkan dapat mencerabut hidup kita justru berubah menjadi ruahan berkah. Para spiritualis pun berujar, “Within the adversities that come along to burry us, there are potential to benefit and bless us!”
Sang ayah yang berusaha mengurai kesulitan Bernasdus, anaknya, atau sang petani yang memutuskan mengakhiri penderitaan sapi kesayangannya; keduanya lebih mengedepankan pemakaian nalar berbasis pembelajaran atas masa lalunya. Sang ayah dan sang petani, meski terkesan sama-sama berusaha menghindari pengalaman penderitaan dari diri “yang lain”; galibnya adalah melakukan penghindaran atas penderitaan diri “sendiri”. Bahwa keduanya mengangkat fakta tentang penderitaan diri “yang lain”, hal ini lebih menjadi ornamentalisasi dan penjudulan yang memungkinkan keduanya memperoleh landasan pembenaran tindakan.
Sebaliknya, tokoh yang sedang dalam keterpurukan, Bernasdus pada cerita pertama dan sapi tua pada cerita kedua, keduanya adalah pemantik akal untuk memahami ikhwal spiritualitas. Sejauh saya pahami dari tulisan-tulisan Anthony de Mello, spiritualitas adalah “a journey without distance”, di mana Anda menempuh perjalanan dari titik keberangkatan you are right now menuju titik tujuan you have always been yang memungkinkan Anda bertransformasi dari sikap batin mengabaikan ke “tahu-tahu sudah tahu”. Spiritualitas adalah sebuah kesadaran tentang proses menjadi, a matter of becoming what you already are.
Keinginan Bernasdus mendapatkan uang receh dengan nilai ekonomi jauh jauh lebih rendah dibandingkan vas bunga atau kepasrahan seekor sapi ke dalam gerak refleks tatkala berada di tengah kepanikan; keduanya dapat menjadi evidensi tentang lumpuhnya nalar di satu sisi, dan tegaknya akal, di sisi lain. Akal (budi) di tengah situasi dilematik adalah lahan subur bagi pertumbuhan spiritualitas. Situasi dilematik ala William Shakespeare (1564-1616) dalam Hamlet (1602) tetap aktual hingga detik ini: “To be, or not to be, that is the question: whether ’tis nobler in the mind to suffer the slings and arrows of outrageous fortune; or to take arms against a sea of troubles, and by opposing end them?”
Di tengah kesulitan, termasuk kesulitan menggunakan nalar, tinggal dua saja senjata kita: kreativitas dan nilai moral, yang selalu berlawanan dengan hasrat memapankan dan merasionalisasikan masa lalu. José Ortega y Gasset (1883-1955) dalam The Revolt of the Masses (1930), mengingatkan kita tentang dua hal ini. Ia menulis: “…those who make great demands on themselves, piling up difficulties and duties; and those who demand nothing special of themselves, but for whom to live is to be every moment what they already are, without imposing on themselves any effort towards perfection; mere buoys that float on the waves.” Saya kembalikan ke para pembaca untuk memutuskan, sejauh mana, dan pada saat mana, Anda mau memakai nalar saja atau mencari akal.***

Cinta di Antara 3 Pilihan


Memilih? Memilih adalah salah satu hal yang paling sulit untuk aku lakukan. Aku mencintainya, dia dan dirinya. Aku merasa bahwa aku terlalu serakah apabila aku tidak bisa memilih satu di antara mereka bertiga. “Cukup! Aku tidak bisa jika aku harus selalu seperti ini, aku harus bisa memilih satu di antara mereka bertiga” Suara hatiku terus-menerus menegur dengan kalimat seperti itu.

“Hey babe, How are you today? How was your day? I miss you a lot! Less than one months i will go to there” Pesan text dari Ryan, Ryan adalah pacarku yang saat ini kita menjalani long distance relationship dari Singapore dan Indonesia. Aku merasa bahagia mendapat pesan text seperti itu. Wajar karena selama 5 bulan kita tidak bertemu dan akhirnya dia datang untuk menemuiku.

Tiba-tiba, aku serentak bingung dengan hubunganku yang lain yaitu dengan Roy dan Alex. Roy adalah lelaki Indonesia yang kuliah di Singapore dan Alex adalah lelaki Indonesia rekan kerja di kantorku. Aku tidak peduli dan mengabaikan kekhawatiranku tentang pacarku akan datang ke Indonesia, toh itu masih lama juga.

Saturday Night pun tiba, aku mendapat pesan text dari Roy yang baru pulang dari Singapore tadi pagi “Ndut, Aku baru pulang nih tadi pagi, Nanti malem ada acara gak? aku maen ke rumahmu ya :)”. Dia tiba di rumah, kita mengobrol, bercanda dan sampai kita tidak merasakan bahwa jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB dan akhirnya dia pun berpamitan untuk pulang ke rumah. Alex dan Ryan tidak mengetahui tentang hal ini dan begitu juga sebaliknya, semua masih dalam keadaan rahasia.

Pada hari jum’at saat Break Time dari kerja, Alex mengajakku untuk nonton bareng. Aku sangat enjoy melewati hari dengannya, Alex itu adalah orang yang baik, penyayang, perhatian, sabar dan selalu mengerti aku. sedangkan Roy lebih kekanak-kanakan sifatnya. Aku merasa bahwa benih-benih cinta dari Alex mulai tumbuh di hatiku dan itu membuat aku menjadi lebih bimbang dan pikiranku mulai mengacu kepada Roy. Entah mengapa aku tidak pernah memikirkan Ryan meskipun dia adalah pacarku. Semakin hari aku merasa hubunganku dengan Roy dan Alex semakin dekat.

Namun, di lain sisi pada akhirnya pun aku tidak akan bisa memiliki salah satu di antara mereka berdua karena aku telah memiliki Ryan yang saat ini dia adalah real Kekasihku. “Kamu itu PHP banget sih jadi manusia, mending sekarang kamu lebih baik ninggalin mereka berdua, kamu kan sudah punya Ryan! Apa kamu nggak takut sama yang namanya Karma? Ingat hukum karma masih berlaku di hidup ini!” Tegur sahabatku Tama dengan muka yang menatapku dengan serius. “Aku harus bagaimana? Aku sayang mereka berdua dan itu sebabnya aku nggak bisa ninggalin mereka!” jawabku dengan nada sedih. “Tapi kasihan mereka, dan itu sama aja lu nyakitin mereka berdua!” Tegur Tama lagi. Aku hanya bisa terdiam memikirkan ucapan Tama tadi.

Hari demi hari aku terus memikirkan hal itu, aku tidak tau apa yang seharusnya aku perbuat. Aku tidak ingin menyakiti hati mereka berdua, namun aku juga tidak mau kehilangan mereka. Dengan perlahan apa yang aku pikirkan pun mulai menghilang dengan sendirinya dan aku masih tetap berhubungan dengan Roy dan Alex. Sekarang Roy sudah kembali ke Singapore untuk melanjutkan kuliahnya dan hanya tinggalah aku dan Alex disini. Aku merasa semakin dekat dengan alex bahkan kita sering untuk keluar bareng.

Di Saturday night ini kita berencana untuk pergi ke suatu mall untuk dinner bersama. Rasanya sangat bahagia menjalani hari bersamanya dan itu membuat aku untuk semakin susah melepasnya. Akan tetapi, aku harus jujur dengannya tentang semua ini, karena aku tak ingin menyakitinnya lebih dalam lagi. “Alex, sorry ya sebelumnya aku bingung harus memulai omongan ini darimana? Aku takut ini menjadi salah paham dan ini membuatmu kecewa” ucapku kepada Alex. “Ngomong aja sayang, aku tidak apa-apa. Aku nggak bakalan marah atau kecewa sekalipun. Aku sudah terlanjur sayang banget sama kamu” jawab Alex dengan nada halus dan penyayang itu. Aku tertegun mendengar perkataannya dan mulai memberanikan diriku untuk lebih jujur. “Maaf ya sayang, sebenernya aku nggak bisa ngelanjutin hubungan ini terlalu jauh, aku sayang banget sama kamu tapi aku sudah punya pacar dan aku nggak bisa ninggalin dia juga”. Dengan nada yang halus Alex pun menjawab “Jadi selama ini kamu PHPin aku dong, hmm ya sudah kamu jangan sedih ya ini bukan salahmu kok ini salahku kenapa aku nggak pernah nanyain kamu apakah kamu punya pacar apa belum? Dan sekarang mending kita jadi Sahabat aja ya! Aku nggak mau jadi orang yang perusak hubungan orang lain tapi aku percaya kok, kalau kita memang jodoh kita akan balik lagi. Aku sayang kamu”. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku saat aku mendengar ucapan Alex. “Mengapa aku bisa menyakiti orang sebaik dia, Mengapa aku tega melakukan semua ini” Kata hatiku kembali menggumam kalimat seperti itu. Namun semua tidak berakhir, Alex masih keep contact denganku walaupun dia sudah mengetahui semuanya. Aku merasa sangat bersalah kepadanya, Aku begitu kejam telah menyia-nyiakannya. Aku ingin dia bisa meninggalkanku dan cepat move on sehingga aku mulai membatasi apabila dia terlalu sering mengontakku.

Sedikit lebih lega rasanya setelah berkata jujur kepada Alex. Dan sekarang yang menjadi beban di pikiranku adalah Roy. Aku kesulitan untuk berkata yang sejujurnya karena aku tau dia bukan orang yang dewasa dan susah untuk menerima pendapat dari orang lain. Dan akhirnya, aku tetap menjalani hubunganku dengan Roy. Hari pun cepat berlalu kurang dari seminggu lagi Ryan akan datang ke Indonesia untuk menemuiku. “Baby, I’m really happy. Less than one week i will meet you” Pesan text dari Ryan. Aku semakin bingung dengan keadaanku yang terjepit ini, aku tetap menjalani ini semua dengan hati yang tidak tenang.

Hari demi hari berlalu, dan akhirnya tiba pada deadlinenya. Hari Sabtu pukul 14.00 WIB Ryan pun tiba di Indonesia. Aku menjemputnya di Airport dan segera membawanya ke rumah untuk bertemu dengan mamaku. Kita bersantai bersama di rumah, bercerita dan becanda. Tak kusangka tiba-tiba datang sebuah mobil dia adalah Roy dengan membawa serangkaian bunga mawar yang indah hendak diberikannya untukku. Lalu keadaan berubah menjadi canggung karena disitu juga ada Ryan. “Jadi selama ini kamu telah dengannya, mengapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang hal ini? Kamu jahat banget. Sorry sudah ganggu waktu kalian. Have Fun!!” Kata Roy dengan nada marah dan membuang serangkain bunga mawar yang indah itu. Aku kelagapan dengan situasi ini, Tiba-tiba Ryan mendatangiku dan berkata “Who is he? Is he your second boyfriend? What the hell with this, I think you are nice girl but i was closed! You are a Liar!”. Hancur sudah semua kisah cintaku.

Aku menyesal dengan perbuatanku yang bodoh ini, aku sangat menyesal. Berawal karena aku mengharapkan yang terbaik tetapi semua malah berbalik sehingga aku harus kehilangan semua orang yang aku sayangi. Inilah hidup, apabila ada orang yang sangat mencintaimu sayangilah dia, hargai cinta yang telah dia berikan untukmu. Janganlah kau sia-siakan selagi dia masih ada di sampingmu. The End.

3 Tahun, 3 Cerita, Kau Tetap Perempuan Istimewa Bagiiku

Namaku Iwan, aku adalah seorang anak remaja yang sedang mencari jati diri. Aku baru saja menamatkan sekolah menengah pertamaku dan tak sabar rasanya untuk segera memulai masa SMA di sekolah baru nanti. Bingo! Betapa bahagianya aku setelah mendapatkan kursi di sebuah SMA Negeri favorit di Kotaku, semakin tidak sabar saja rasanya. Sekolah baru akan dimulai 3 hari berikutnya, aku memanfaatkan waktu luangku untuk prepare keperluanku saat hari pertama sekolah nanti dan sekalian aku berpamitan dengan pacarku yang baru saja naik kelas 3 SMP. Ya, kami berbeda 1 tahun, oleh karena itu aku berpamitan karena kita mungkin tidak akan bertemu setiap hari lagi di sekolah yang sama. Memang tersirat rasa sedih saat mengatakan kalimat perpisahan, meskipun hanya berpisah sekolah. Kita berjanji untuk saling setia dan menjaga hati masing-masing. “see you di SMA sayang!” kata Lusy sambil berbalik badan bergegas masuk rumah, usai aku mengantarnya pulang hari itu. Akhirnya hari mulai sekolah tersisa 1 hari lagi. Tak sabar menunggu esok rasanya, merasakan sensasi sekolah baru. sambil asik aku packing untuk peralatan yang harus dibawa esok hari, aku mengirim SMS pada Lusy. “Sore sayang?” Sapa ku pada Lusy. “Sore” jawab jawabnya singkat. “Lagi ngapain?” Tanya ku. “Lagi Belajar” “berarti ganggu dong?” “hmm, Sedikit!” jawab Lusy. Baru sekali ini dia bilang aku sedikit mengganggu. “Oh, It’s Okay, maaf ya ganggu, selamat belajar” ucapku menyudahi percakapan. Sempat merasa heran karena Lucy sedikit aneh sore itu, tapi ah, ya sudahlah aku tidak ingin ambil pusing terlebih aku takut lebih mengganggunya nanti. Aku pun melanjutkan packing. Malam harinya terdengar nada pesan berdering di Handphoneku, kulihat itu dari Lusy. “Iwan, aku ada perlu!” bunyi SMSnya. Kujawab “apa?”, sepertinya ada yang perlu dia katakan karena isi SMSnya tak pernah seserius itu. “aku mau bilang sesuatu sama kamu, penting!” “iya, ngomong aja sayang?” tanyaanku dengan sejuata rasa penasaran. “Maafin aku, aku bukan cewe yang baik buat kamu..” “Wait.. Wait! Maksudnya apa sih Lus?” Lalu dengan kalimat tegas Lusy menjawab “Intinya! Aku gak tau harus gimana, rasanya kita udah gak cocok wan, aku kira kita putus aja ya?” Jantungku seakan berhenti berdetak sesaat.. tak sadar aku melongok heran. Sebenarnya aku tak mendapatkan alasan yang logis dari semua ini, namun karena Lusy bersikeras ingin berpisah denganku, ya mau apalagi, harus kubendung kekecewaan yang amat besar dalam hidupku. Cinta pertamaku, lusy kini pergi. Besoknya aku memulai hari pertama sekolahku dengan masih menyisakan rasa galau. “Cepat! Jangan malas! Baru masuk SMA udah malas!” bentak seseorang di depan gerbang, ketus sekali Seniorku ini. Memang hal yang wajar ketika masa-masa orientasi sering dimanfaatkan kakak kelas untuk membully siswa baru, kalau bahasa gaulnya di “ospek”. 3 hari ospek yang sangat melelahkan telah kulewati, hampir tak da waktu santai rasanya, namun semua terbayarkan setelah bertemu dengan banyak teman baru, dengan karakter dan kepribadian yang baru, it’s interesting. Tiba akhirnya kegiatan belajar mengajar dimulai, aku telah kenal dengan Aryo, Rasmin dan Andra. Kita berempat sudah klop semenjak masa-masa orientasi, jadi tak butuh waktu yang lama untuk menjadi akrab. Aku sering memperhatikan Aryo yang sepertinya tengah dilanda jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pertamanya di SMA. Usut di usut ternyata Aryo memang naksir dengan perempuan kelas sebelah yang bernama Budi. Hehehe, no no no.. im joking, namanya Khairunnisa, sering dipanggil Nisa. Buatku Nisa orangnya biasa saja, nothing special, tapi kita tahu bahwa selera manusia berbeda-beda. 1 minggu berlalu, sepulang sekolah kurebahkan tubuhku di sofa rumah. Handphoneku berbunyi, kulihat Lusy mengirmkanku pesan singkat. “hey! Siang Iwan.” “Siang Lusy, ada apa?” jawabku sekaligus bertanya. “aku mau minta tolong boleh?” “aku kesepian, aku ternyata masih butuh kamu, mau kan kamu balikan lagi sama aku?” Jujur aku masih sangat berharap pada Lusy, jadi tanpa banyak basa-basi aku menerima tawarannya lagi. Ahh! senangnya siang itu. Kini aku dan Lusy kembali menjadi sepasang kekasih yang dimabuk asmara seperti layaknya anak muda lainnya. Tak terasa sudah 8 bulan aku dan Lusy berpacaran. Di sekolah aku telah memasuki pertengahan semester yang dimana sebentar lagi akan digelar UTS. “Wan! Gila deh, Nisa emang cakep abis!” bisiknya padaku. Saat itu aku dan Aryo sedang mengintip ke kelas sebelah dengan maksud melihat Nisa. Ya, itulah kebiasaan si Aryo setiap harinya, sementara aku hanya kali ini mau ikut-ikutan dia. Tak sengaja aku lihat teman sebangku Nisa, perempuan yang menurutku jauuuh lebih cantik dari Nisa, membuatku terperangah. “Yooo… cakep bangeet, kok gue baru liat tu cewek ya!” Aryo dengan pede nya menjawab “Yo’i kan gue bilang apa bro Nisa emang cakep kan!” sambil tertawa bangga, “Bu..bu..Bukan! tuh yang sebelahnya!” jelasku dengan masih terpesona. “ooh yang onoh! Bilang dong! Namanya Alia! Dia temen SMP sekaligus tetangga gue!” kata Aryo berturut-turut. “hah.. lo tau Yo? Kok lo baru bilang punya tetangga cakep? kayanya dia cewek tercantik yang pernah gue liat di SMA ini!” kataku memuji. “hahaha! Cewek kaya gitu? Cantik sih, tapi inget bro, masih baaaanyak yang lebih cantik dari dia, salah satunya, NISA!” kata Aryo dengan sombong. Disitu setelah melihat Alia membuatku lupa akan Lusy pacarku itu. Baru sekarang aku merasakan seperti ini. “Alia”, perempuan tercantik versiku. Kembali ke hubunganku dengan Lusy, entah kenapa sewajarnya saja ada rasa penasaran untuk bertanya lagi alasan yang jelas tentang mengapa Lusy saat itu meninggalkan aku, meskipun saat ini hubungan kami membaik, tapi tidak ada salahnya toh. Aku bertanya pada Lusy, mengapa? Lusy tampak bingung dan seperti ingin mengelak saat kutanyai seperti itu. Tapi elakannya tak berarti bagiku, dan tidak mengurungkan niatku untuk mengetahui alasan yang pasti tersebut. “please, aku Cuma pengen tau Lus, aku kan masih pacar kamu?” pintaku. “iya, tapi buat apa Wan, sekarang kan aku udah balik lagi sama kamu” rayunya. “no, semua harus jelas Lus, kenapa sih?” kataku menekannya lagi. “udah deh Yang, gak penting kok!” “Don’t be Bullsh*t! aku mulai kesel sama semua bantahan kamu!”. “tapi..” “Aaah! Kenapa sih kamu takut buat terbuka sama aku sekalipun!” potongku. “okay! Aku ngalah!” jawab Lusy akhirnya menyerah. SMSan ini sempat tertunda 20 menit lebih dan akhirnya Lusy membalas juga. Isi SMS Lusy.. “Maaf, jujur aku Minta maaf, aku gak konsisten sama perasaan aku, aku gak bisa jaga kesetiaan kamu, maafin aku! Kemarin, Sandy, cowok yang pernah aku suka, dia bilang Sayang sama aku! Jadi aku coba buat buka hati aku dulu buat dia.. tapi teryata dia gak serius. maafin aku sayang L, aku sayang kamu!” Setelah membaca pesan itu aku langsung down. Aku tak menyangka perempuan yang amat aku cintai sebegitu teganya kepadaku. “kamu gak becanda kan Lus?” kataku memastikan. “aku serius!! Maafin aku cinta” kata Lusy memohon. Fikiranku menjadi sulit fokus, hanya melamun, dan merasakan sakit hati yang meledak-ledak. Setelah setengah jam kemudian aku mampu menenangkan diri, inilah pesan yang aku kirimkan pada Lusy.. “Kita putus.. semua udah gak akan bener kalo hati kamu udah terbagi” kataku dengan bulat dan singkat. Tak berapa lama Lusy menelfonku, namun saat ku angkat di telefon hanya ada suara tangisan Lusy, aku sempat iba, namun aku tau memang Lusy sejak dulu mengharapkan Sandy, laki-laki yang pernah menghubunginya itu jadi aku lebih baik menyingkir. Inilah akhir cerita sebenarnya antara aku dan Lusy. Kini, kembali aku membujang, telah ku hapus jauh-jauh perasaan tentang Lusy, dia hanyalah kesalahan terbesar dalam kehidupan cintaku. Aku seperti biasa belajar di sekolah demi menghadapi UTS. Saat waktu istirahat tiba aku duduk sendiri di depan kelas, namun tiba-tiba Alia lewat di depanku dengan wajah yang tampak tersipu malu. Senyumnya membuatku segar kembali hari itu dan selalu tampak menggoda dibalik jilbab yang dia kenakan. Fikirku, kali ini aku single, so, kenapa aku tidak mengejarnya saja? Lagipula Alia memang sudah tau kalau aku telah mengaguminya sejak lama. Yes! I’ll do that. Aryo sepertinya sedang tidak ingin membantuku karena dia pun sedang kasmaran, jadi mana mau tau urusan cinta orang lain. Aku memperhatikan Alia, dan akhirnya ide untuk bisa mendekatinya kutemukan. Aku bertemu dengan Gina, dia siswi dari Jakarta namun kita sudah saling kenal. Gina adalah teman sekelas Alia, aku menggunakan jasanya untuk menjadi Makcomblangku. Sepulang sekolah aku cegat Gina dan meminta bantuannya. “nih bang nomernya si Alia. Ntar malem lo SMS aja!” kata Gina sambil menunjukan nomer Alia di Handphonenya. “asek! Thank’s ya sist!” akupun bergegas pulang. Memang tak sulit untuk berbisnis dengan Gina, Selain orangnya baik, kita sama-sama orang betawi jadi lebih cepat akrab. Di rumah kucoba menyapa Alia lewat SMS. “Haaii Alia?”. Na’as tak ada balasan dari Alia, membuatku galau sesaat. Besok nya di sekolah Gina menemuiku. “bang! Gawat, Alia marah-marah soalnya dia paling gak bisa kalo cowok asing ngeSMS dia!”. Kata Gina kebingungan. Ini situasi yang gawat, berarti Alia memang tidak ingin membuka diri. Akhirnya aku berniat memberanikan diri untuk menjumpai Alia langsung. Di jam istirahat kedua kulihat Alia sedang asik mengobrol dengan Nisa. Kuhampiri Alia dengan merasakan kaki yang terasa kaku menanggung grogi. “Alia, bisa ngomong sebentar?” tanyaku kepadanya. Nisa dengan sendirinya pergi meninggalkan kita berdua, “ada apa?” kata Alia dengan senyumnya yang malu-malu menghias wajahnya yang sama-sama memerah sepertiku. Dia menatap wajahku. “maaf ya, kemarin aku yang SMS Kamu, terus aku denger kamu marah, jadi aku minta maaf? Tapi suerr!! aku udah hapus nomer kamu kok!” jawabku. “oh, hehehe.. kamu lucu deh. Iya gak apa-apa, emang aku kurang terbiasa kalo ada orang asing SMS aku” jelasnya. “aku kan bukan orang asing?” “iya bukan kok Iwan” .. Alia menyebutkan namaku sambil tersenyum, indah sekali rasanya. “so, boleh dong aku SMS kamu?” goda ku. “hmm.. Nanti aja deh ya” jawab Alia singkat. Niatku kali ini gagal, tapi tak apalah, aku tak mungkin memaksanya. Yang jelas waktu ngobrol tadi adalah the Best situation ever. Aku pun pamit dari Alia dan bergegas menuju kelasku. Hari demi hari di Sekolah aku habiskan bersama usahaku mendekati Alia. Semakin hari dia semakin cantik saja. Selalu pipinya merah merona saat berpapasan denganku. Sial! Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Memang terkadang usahaku gagal, seperti ada kala aku membelikannya makanan saat istirahat, sebungkus nasi goreng dari kantin telah ku jingjing. Aku menghampiri Alia dan memberikan Bungkusan ini untuknya. “Alia! ini ada makanan, kamu pasti belum makan” tawarku padanya. “aduh ngerepotin!, ini ikhlas kan?” Tanya nya sambil melempar senyum. “ikhlas banget kok” jawabku. “yu, dimakan ya, aku tinggal dulu!” aku pergi meninggalkan Alia. Fyuh!, lega rasanya karena Alia menerima bungkusan Nasi goreng itu. 5 menit selanjutnya aku tak sengaja lewat di depan kelas Alia, kulihat Alia sedang mengotak-atik handphonenya. Dimana nasi goreng yang tadi aku berikan?. Setelah kucari-cari ternyata sebungkus nasi goreng itu sedang di makan oleh Zaky, laki-laki pendek dan gembul yang sering menggodanya di kelas. Payah! Rupanya Alia memberikan Bungkusan itu pada Zaky. Tak apa lah, meskipun secara tidak langsung aku merasa gagal total, aku ikhlas. Alia akhir-akhir ini memang selalu menjauh, tidak memberikan respon positif padaku. Aku sering melihatnya senyum-senyum sambil menerima telefon, entah dari siapa tapi aku tak curiga karena sudah rahasia umum kalau Alia sangat menutup diri jadi tidak mungkin kalau ada laki-laki yang menelefonnya. Manjauhnya Alia ini membuatku amat galau dan frustasi, jadi aku mencari informasi tentang Alia yang sekarang. Sepeti biasa aku panggil Gina. Ku minta dia agar melacak apa yang sedang terjadi pada Alia. Besok harinya Gina berlari menghampiriku sambil tergesa-gesa. “Bang! Lo jangan nangis ya?” katanya meledekku. “hah? Maksud lo? Ada apa sih? Kaga bakal nangis gue!” “Alia, setelah sekian lama ngejomblo sekarang dia udah punya pacar!!!” Tuuuuuuttt!!! Detak jantungku berhenti lagi sebentar. Memang faktanya Jantung akan berhenti sebentar ketika kita mendengar hal yang buruk tentang cinta. Entah dengan hal yang lain. “serius lo?” tanyaku untuk meyakinkan diri. “beneran! Pacarnya dokter bang! Tiap malem minggu ngapelin sib do’i!!” Ahhh!! Galau kembali kualami. Lagi-lagi kegagalan dalam cinta monyet. Dasar monyet! Kataku mengatai diri sendiri. Terpaksa aku menjauh dari Alia yang sudah milik pak dokter sekarang. Gina selalu menyabarkanku, membuat aku kembali tegar. Aku dan gini yang setiap hari bertemu untuk curhat menjadi lebih dekat, dan lebih fatalnya! Kita saling suka satu sama lain berjalan 5 hari pendekatan, aku dan Gina terlibat Teman tapi mesra. Kita bersahabat namun rasanya seperti pacaran. Ya, biasa lah. Sampai akhirnya naik kelas 2 Gina pindah sekolah dan tidak pernah mengabari aku lagi. Tak terasa Aku naik kelas 2 SMA dan masih jomblo. Hidup bebas namun terlantar, haus perhatian dari wanita. Kulihat Alia yang masih berbahagia dengan dokter itu. Terlihat dari mimiknya yang selalu berseri-seri. Jika harus memilih antara aku dengan dokter, sudah pasti dokter lebih unggul. Haduh! Galaunya hati ini melihat orang yang kita sukai tidak menghiraukan kita. Tak butuh waktu lama setelah tekanan pesona bertubi-tubi dari Alia, aku tidak dapat menahan hati lagi, dan jatuh cinta lagi. Tak peduli dia kini sudah jadi pacar dokter. Kucoba mendekatinya lagi yang saat itu di siang hari sedang murung, berbanding terbalik dengan mentari yang bersinar cerah. Ku hampiri Alia. “hey.. Sendirian aja?” godaku. “eh, kamu.. iya nih, lagi bad mood!” jelasnya. Dengan inisiatif seorang laki-laki yang sedang dilanda asmara, aku menghiburnya, hingga akhirnya kulihat wajahnya kembali memancarkan senyumnya yang masih cantik seperti dulu. Ah.. aku rindu senyum Alia. Intinya siang itu setidaknya aku berhasil membuat Alia tersenyum lebar kembali. Setelah ngobrol ngalor ngidul di balkon kelas, aku iseng bertanya. “hm, sama yang dokter itu masih?” dengan nada menggodanya. “hehe udah engga kok” jawabnya. Disitu aku masih sok cool, padahal di dalam hati aku riang bukan kepalang. “eh, mau tau rahasia aku gak?” sambung Alia lagi. *what? Alia mau bagi-bagi RAHASIA nya denganku! Mimpi apa aku semalam. “mau, rahasia apa Al?” kataku penasaran. “tapi jangan sampe bocor ya?” “iya beres deh” “sebenernya.. Dokter itu Kakakku, aku pura-pura punya pacar supaya aku aman. Jadi aku minta tolong dia..” jelas Alia. ooooh.. “maksud kamu? Aman dari aku?” sindirku. “ya, soalnya aku risih buat pacaran” ujar Alia. “tenang aja Alia, aku ga bakal aneh-aneh kok, aku mengagumi kamu sewajarnya aja lagi, meskipun sampe sekarang masih belum bisa move on dari kamu” godaku pada Alia.. “iya–iya.. hehe” sahut Alia. “eh, tapiii…” “tapi apa Wan?” Tanya Alia. “masih belum bisa ngasih nomer handphone nya ya?” celetukku. “hehe, pengen banget ya?” ledek Alia padaku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “mana kertasnya?”. Ditulislah nomer handphone nya dalam kertas yang aku berikan namun menyisakan 1 digit yang kosong. “nih aku sisain 1 nomer akhir, kamu yang cari aja” tantang Alia. “it’s okay!” Alia lalu pergi pulang dan menunggu sepi aku melampiaskan kebahagiaanku di tempat itu juga. Benar-benar rezeki besar!!. Setelah di rumah ku kirimkan pesan ke 10 kontak sekaligus dengan menyisipkan nomor berakhiran 0-9. Ternyata yang paling tepat adalah angka 1. Mudah saja bukan.. “halo Alia?” begitu isi pesanku ke semua nomer. Lalu nomer dengan akhiran 1 membalas, “ya, syp?” jawabnya singkat. “ini aku Iwan!?” “oh, iya ada apa?” tanyanya. Entah perasaanku saja, tapi aku merasa Alia ini sangat ketus di SMS jadi hari itu aku akhiri dengan “Save nomer aku ya Alia”.. Berhari-hari aku terus coba menghubunginya lewat SMS namun tetap sama ketusnya, yang jelas aku benar-benar jatuh cinta yang kedua kalinya dengan orang yang sama, Alia. Mungkin sudah hal lumrah jika seorang perempuan di kejar-kejar laki-laki akan merasa senang, dan aku yakin itu juga terjadi pada Alia. Namun entah mengapa aku merasa ada yang lain dari sifat Alia terhadapku. Di suatu kesempatan Alia pernah menyuruhku mengerjakan tugas kelasnya, dengan alasan “malas” dia meminta tolong padaku. “tolong kerjain ini yah..” suruhnya padaku. “kenapa gak di kerjain sendiri?” tanyaku penasaran. “hmm.. males!” jawabnya singkat sambil tersenyum. Okay! Demi Alia, aku rela.. namun disitu terdapat Aryo dan Rasmin, sahabat dekatku yang memperhatikan aku sedang mengerjakan tugas Alia. Singkat cerita tugas Alia telah selesai aku kerjakan. Lalu Alia berterimakasih dan pergi ke kelasnya dan tak lama Aryo dan Rasmin menghampiriku, membawaku ke tempat sepi. “gila lo! Mau aja di Babu’in?” kata Rasmin menyentakku. “kaga! Dia minta tolong doang min!” bela ku. “udah deh kita liat kok semua yang udah Alia lakuin buat lo, semua motifnya sama!” lanjut Aryo, lalu Rasmin nyeletuk lagi. “maaf aja ya bro, tapi kita-kita sih ngeliat lo tuh dimanfaatin, soalnya lo naksir Do’I kan?” Tanya Rasmin. Sejujurnya sebenarnya aku merasakan hal yang sama, namun karena perasaan yang begitu besar pada Alia, aku jadi tidak menghiraukannya. Namanya juga Cinta. CInta kan Buta. Telah berlangsung 3 bulan pendekatanku dengan Alia tidak kunjung membuahkan hasil. Disaat aku telah merasa dekat dengan Alia, dia selalu menjauh, dan itu selalu terulang. Alia memang benar-benar mempecundangiku. dibuatnya aku bagaikan menjadi pengemis yang sedang mengemis pada orang tak punya. Ada saja gangguan saat pendekatan dengan Alia, salah satunya mungculnya Laki-laki bernama Obi yang bisa kubilang memang good looking. Obi membuat Alia selalu menyibukan diri dengannya. Ya, mungkin mereka bersahabat, namun tetap aku tidak nyaman dengan kehadiran Obi. Alia sesekali sering memanas-manasi aku saat dia sedang bersama Obi, entah apa maksudnya, namun sudah cukup membuatku ilfil. Setelah berfikir cukup panjang aku memutuskan untuk mencoba menjauh lagi dari Alia. Ya, demi menyembuhkan hatiku yang berulang kali jatuh bangun karena cinta. Aku ingin mengistirahatkan hati. Karena ini cerpen jadi kupersingkat ceritanya, aku naik kelas 3 SMA, masa dimana anak SMA sedang serius-seriusnya. Namun se padat-padatnya jadwal belajar, masih ada sela waktu dimana aku, Rasmin dan Aryo dapat berkumpul sama-sama seperti biasa. Ya, 3 jomblo with Freedom. Oh iya, Aryo pun gagal mendapatkan Nisa. Sekitar 1 semester kita bertiga menjadi single boy, akhirnya di bulan ke 4 semester 2, Aryo dan Rasmin move on mendapatkan kekasih baru. Aryo bertemu dengan Rita, dan Rasmin dengan Ayu. Aku? Masih sendiri. Aku hanya tertinggal sebentar karena tidak lama aku bertemu Dini yang telah menjadi incaran beberapa temanku. Kita mulai dekat dan akrab, dan lagi tak butuh waktu lama, aku dan Dini mulai berpacaran. Demi melenyapkan Alia dalam hatiku. Saat itu kita berhubungan jalan 3 bulan hingga sekolah selesai usai Ujian Nasional. Dini adalah perempuan terbaik yang pernah aku temui, namun meski begitu masih ada yang belum hilang dalam ingatan hati kecilku. Ya, Alia masih membayangi perasaanku, terlebih pada waktu saat aku sedang jalan berdua dengan Dini di sekolah dan berpapasan dengannya di kantin, Alia selalu menunjukan senyum mematikannya seperti dulu, membuatku tak kuasa menyembunyikan perasaanku yang lalu di depan Dini, Juga kudengar Obi sahabatnya itu multifungsi, jadi kadang bisa menjadi cowok, kadang bisa menjadi CEWEK. Mungkin itu yang membuat Alia sekarang menjauhi Obi. Mungkin Alia Geli juga. Sejujurnya aku punya sedikit masalah dengan Dini. Ya, dini mengambil kehidupanku. Rasanya aku kehilangan duniaku sendiri, karena setiap waktu harus kuhabiskan bersama dia. Mungkin itu yang membuat Aryo dan Rasmin menjauhiku dan menganggapku sombong. Semua begitu berat, karena aku tak ingin kehilangan kawan yang membuatku selalu tertawa. Dini sejauh ini belum mengerti maksud dari kalimat “aku kehilangan Hidupku” so, ini membuatku jenuh dengannya. Aku pergi ke Mushola sekolah. Karena waktu itu sudah selesai UN jadi aku bisa berkeliaran kemana saja tiap waktu. Di dekat WC mushola aku bertemu Alia. Akh! Senyumnya begitu menghipnotistku. Disaat jengah seperti ini aku menemukan sedikit sisa hidupku yang lalu, yaitu Alia. Aku membuat doa usai shalat Dhuha di Mushola sekolah. Aku berdoa agar hidupku yang menyenangkan kembali. Selepas dari Mushola aku menuju kelasku seperti biasa Dini sudah mengSMSku dan bilang bahwa dia sendirian. Aku bergegas menuju kelas dengan keadaan fikiran yang so .. so.. bad! Namun sekali lagi aku berpapasan dengan Alia di koridor sekolah! Sudahlah, tak sanggup lagi aku pungkiri bahwa aku masih dan telah jatuh cinta pada Alia untuk ke 3 kalinya!. Aku tau ini fatal karena sulitnya melupakan Alia. Oh tuhan aku fikir ini jawaban atas do’aku. Aku memang mendapatkan kesenanganku kembali setelah melihat Alia. Aku telah bulat memutuskan bahwa aku harus fight untuk Alia. Tak peduli keadaan yang tidak enyenangkan menyelimutiku, yang jelas aku telah menemukan seseorang yang bisa membuat aku bisa survive dalam hidupku sendiri lagi. Aku mulai merenggangkan hubunganku dengan Dini, dan 2 minggu setelah masa-masa menjauh, aku akhirnya selesai dengan Dini. Kita berteman baik hingga sekarang, sepertinya.. Aku kembali membidik Alia, kini aku dan Alia semakin dekat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam pendekatan kali ini aku sudah berani menelefonnya dan dia mulai meresponku. Bahkan aku pernah ke rumahnya, sejauh ini sudah kedua kalinya. Aku bertemu ayah dan ibunya, bukankah itu rezeki? Aku tak tau apa maksud Alia saat suatu hari aku Tanya apakah dia akan memberiku kesempatan untuk bisa bersamanya. Alia hanya menjawab. “aku gak akan pernah ngasih kamu kesempatan, tapi apapun yang bisa kamu lakuin buat aku, lakuin aja..” jawab Alia. Dan aku yakinkan dia dengan kalimat, “percaya aku, meskipun ini akhir cerita SMA, tapi aku bakal fight buat kamu, meskipun aku tau gak akan pernah ada kesempatan buatku.., dan aku janji waktu kita ketemu lagi nanti, aku bakal masih Mencintai kamu sebagaimana perasaan aku naksir di waktu pertama, kedua, dan ketiga”.. Sesudah pertemuan terakhir di Rumahnya, kita tidak pernah bertemu lagi, namun aku masih memimpikannya hingga sekarang. Kini aku tau bahwa cinta buta maksudnya adalah membutakan semua pilihan cinta, dan menganggap bahwa hanya dia yang mampu membuatku merasakan hidup yang sebenarnya. Dan satu lagi, apapun yang dia lakukan untuk membunuh perasaanku, aku telah jatuh cinta dengan caranya memperlakukanku.
Sekejam apapun itu, aku akan Ikhlas, karena aku tau bahwa ‘cinta’ hanyalah penderitaan, dan dengan ikhlas, aku tak akan pernah lagi menderita, ....end